Senin, 19 Juni 2017

Service Level Agreement dan Operational Level Agreement

A. Service Level Agreement (SLA)

Image result for service level agreement adalah
Ketika memesan makanan di sebuah restoran, pernahkah anda mendengar seorang pelayan mengatakan bahwa makanan yang anda pesan akan tersaji dalam waktu sekian menit ? Nah, waktu yang disebutkan pelayan tersebut adalah SLA yang dijanjikan oleh restoran tersebut kepada anda sebagai pelanggan. Artinya restoran tersebut memiliki tanggung jawab kepada anda untuk dapat menyediakan makanan dalam rentang waktu yang dijanjikan.


Contoh lainnya saat kita ingin membeli sebuah VPS biasanya akan muncul istilah SLA dalam daftar fitur atau jaminan kualitasnya. Apalagi kalau sudah ada tulisan SLA 99%, 99.9% atau bahkan 99,99%. Sebenarnya maksud persen ini juga apa? SLA 99% itu maksudnya dalam sebulan (atau 30 hari, tergantung providernya) ada jaminan uptime sebesar 99%. Jadi kalau VPS anda down dan disebabkan oleh penyedianya (masalah jaringan, node servernya kena abuse user lain, harddisk rusak dan sebagainya) dan bila dihitung lamanya lebih dari 1% dari 30 hari maka anda bisa klaim ganti rugi. Bisa dikatakan si provider hosting yakin akan kestabilan dan kualitas layanannya hingga berani menjamin, tapi ini sebenarnya hal standar.

Dengan demikinan, SLA merupakan kesepakatan formal yang dapat dinegosiasikan guna mengidentifikasi harapan, tanggung jawab, dan memfasilitasi komunikasi antara penyedia produk/layanan (supplier) dengan pelanggannya (costumers) yang diukur dengan jangka waktu tertentu.

Dari definisi SLA di atas, terdapat dua pihak yang berkepentingan, yaitu pihak penyedia (supplier) dan pihak pelanggan (costumer). Tentunya keduanya memiliki harapan masing-masing yang bisa saja berbeda. Harapan pelanggan menginginkan produk/layanan tersedia dengan cepat, namun dari pihak penyedia memerlukan waktu proses untuk menyediakan produk/layanan yang dibutuhkan tersebut. Perbedaan harapan inilah yang perlu dikomunikasikan agar tidak terjadi konflik.

Di sinilah diperlukan SLA untuk menjembatani perbedaan harapan, mendefinisikan kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pihak sekaligus menjadi alat ukur efektifitas penyediaan produk/layanan oleh supplier.

Sebelum membuat SLA, terlebih dahulu harus dipahami dahulu tentang unsur- unsur yang terkait SLA yaitu Supplier, Input, Proses, Output, dan Costumer (SIPOC). Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:

https://lh5.googleusercontent.com/-uphqWefMVlo/Ud9tImcjv0I/AAAAAAAACoA/MVqGWekAVqE/s609/SIPOC.jpg

Keterangan:

  1. Supplier merupakan pihak yang memberikan sumber daya kepada organisasi untuk menjalankan proses menghasilkan produk/layanan
  2. Input adalah segala sumber daya yang digunakan dalam proses menghasilkan produk/layanan, meliputi Manusia, Mesin, Metode, Material dan Lingkungan (Mother Nature)
  3. Proses merupakan serangkaian aktivitas untuk menghasilkan produk/layanan, meliputi Proses Utama yaitu proses yang dilakukan untuk menghasilkan produk; Proses Pendukung yaitu proses yang dilakukan untuk mendukung proses utama; dan Proses Manajemen yaitu proses yang dilakukan untuk menyempurnakan proses utama
  4. Output adalah berupa produk/layanan yang dihasilkan dari suatu proses
  5. Costumer adalah pihak yang menerima/membutuhkan produk/layanan dari suatu organisasi.

SLA dibutuhkan jika dilihat dari sisi Penyedia layanan adalah sebagai jaminan atas service yang diberikan kepada klien, sehingga klien tersebut bisa puas atas layanan yang diberikan, dampak lain yang akan muncul dari sisi penyedia layanan adalah konsep pemasaran tradisional yaitu pemasaran dari mulut ke mulut , maksudnya adalah klien akan memberikan rekomendasi kepada temannya/ rekan lainnya bahwa layanan yang diberikan oleh penyedia tersebut bagus, sehingga berharap teman/ rekan lainnya mau berlangganan kepada provider/ penyedia layanan tersebut

Dari sisi klien adalah menjamin aspek ketersedian  (availability) informasi (kalau mengacu kepada konsep informasi yang berkualias) sehingga pihak klien merasa terbantu dengan ketersediaan layanan yang diberikan oleh pihak provider, sehingga proses pengelolaan data/ informasi dengan pihak-pihak terkait (customer/ vendor) berjalan lancar & tidak terganggu karena layanan itu mati, bisa dibayangkan jika klien tersebut adalah sebuah institusi perbankan (dimana layanan yang dibutuhkan adalah 24 jam , dengan kata lain layanan internet nya tidak boleh down (mati), dan bisa dibayangkan juga jika layanan dari perbankan itu down (mati), akibatnya dari aspek pemasaran nasabahnya dari bank tersebut tidak akan percaya , sehingga dampak yang paling tragis adalah nasabah tersebut akan berpindah kepada layanan dari bank lain ?, begitupula layanan-layanan lainnya seperti Perguruan tinggi, yang nantinya akan berdampak kepada image yang kurang baik dari perguruan tinggi tersebut.

B. Operational Level Agreement
Operational Level Agreement adalah kontrak yang menentukan bagaimana berbagai kelompok TI dalam perusahaan berencana memberikan layanan atau rangkaian layanan. OLA dirancang untuk mengatasi dan memecahkan masalah silo TI dengan menetapkan seperangkat kriteria tertentu dan menentukan rangkaian layanan TI tertentu yang masing-masing departemen bertanggung jawab. Perlu dicatat bahwa istilah Service Level Agreement (SLA) digunakan di banyak perusahaan saat membahas kesepakatan antara dua kelompok internal, namun menurut kerangka Teknologi Informasi Infrastruktur Informasi (ITIL) untuk praktik terbaik, jenis kontrak internal ini harus disebut Sebuah Perjanjian Tingkat Operasional.

OLA bukan pengganti SLA. Tujuan OLA adalah untuk membantu memastikan bahwa kegiatan yang mendasari yang dilakukan oleh sejumlah komponen tim pendukung secara jelas disesuaikan untuk menyediakan SLA yang dimaksud.

Jika OLA yang berada di bawah tidak ada, seringkali sangat sulit bagi organisasi untuk kembali dan memberi persetujuan insinyur antara tim pendukung untuk mengirimkan SLA. OLA  harus dilihat sebagai dasar praktik yang baik dan kesepakatan bersama.

Perbedaan antara SLA dan OLA adalah:


  1. Service Level Agreement berfokus pada bagian layanan dari perjanjian, seperti uptime layanan dan kinerja. Di sisi lain, Perjanjian Tingkat Operasional adalah kesepakatan sehubungan dengan pemeliharaan dan layanan lainnya.
  2. Service Level Agreement pada dasarnya adalah kontrak antara penyedia layanan dan pelanggan. OLA adalah kesepakatan antara kelompok pendukung internal sebuah institusi yang mendukung SLA.
  3. Saat membandingkan kelompok sasaran, OLA memiliki kelompok sasaran lebih kecil daripada SLA.
  4. Berbeda dengan OLA, SLA menghubungkan penyedia layanan ke pelanggan.
  5. Perjanjian Tingkat Operasional lebih bersifat teknis daripada Service Level Agreement.
Contoh Kasus:

Kasus:
Penyedia layanan internet memberikan SLA 98% pada paket biaya per bulan Rp 1.000.000, hitunglah biaya yang wajib dibayar oleh pengguna saat bulan Juni jika SLA layanan pada bulan tersebut adalah 76.6%
Penyedia layanan internet memberikan SLA 98% pada paket biaya per bulan Rp 1.000.000. Saat bilan Juni SLA layanan yang diberikan hanya 76.6%

Permasalahan:
Karena SLA layanan pada bulan Juni hanya 76.6%, Berapa biaya yang wajib dibayar pada bulan Juni?

Jawab:

SLA dengan SLA 98%, artinya layanan standard mereka 98% dalam 1 bulan, dan 2% dianggap wajar jika terjadi mati (down) dalam layanan tersebut)

1 hari = 24 jam 
1 bulan = 30 hari

Biaya bulanan Internet = Rp. 1.000.000

==> 1 bulan = 30 hari x 24 jam = 720 Jam (720 jam merupakan layanan 100%)

==> Sedangkan jika 98% maka layanan standard mereka adalah

==> 98% * 720 jam = 705.6 jam (layanan standard mereka, sisanya 14.4 jam dianggap wajar jika layanan itu mati (down)

Biaya bulanan internet = Rp 1.000.000
SLA layanan bulan Juni  = 76,6% artinya pihak provider bulan Juni hanya bisa memberikan layanan internet sebesar 76,6% dan terdapat  selisih 21.3% (98% – 76.6%) yang tidak bisa dipenuh oleh pihak provider

Nah 21,3 % itu adalah hak kita untuk mendapatkan penggantian, penggantian ini biasanya dlm bentuk pengurangan pembayaran, misalkan kita bayar:

1 bulan Rp 1.000.000 = untuk layanan 98% (1% sekitar Rp 10.204)

Maka untuk layanan hanya 76.6% = 1.000.000 – (21.3% X Rp 10.204)

=  Rp 1.000.000 – Rp 217.345

    =  Rp 782.654

Artinya dlm bulan ini kita hanya punya kewajiban membayar sekitar Rp 782.654

Sumber:
http://www.bppk.kemenkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12530-mengenal-lebih-dekat-sla-service-level-agreement
https://bambangsuhartono.wordpress.com/2013/07/26/pengertian-dan-cara-perhitungan-sla-service-level-agreement/
https://servernesia.com/1460/apa-itu-sla/
http://taufikfajarr.blogspot.co.id/2017/06/service-level-agreement-dan-operational.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar